Wednesday, May 19, 2010

rumah untuk mama

Pamboang, Day 41(6 Maret 2010)

Rumah untuk mama.

Rasanya menyakitkan memikirkan seorang perempuan di ujung usianya bisa sangat sebatang kara. Tanpa rumah. Tetap bekerja keras ketika tulangnya sudah mulai aus dikikis osteoporosis. Perempuan itu mamaku. Setelah bercerai, ia terusir dari rumah. Menumpang semalam di kos putrinya lalu keesokan harinya pergi mencari rumah kos sendiri. Seharusnya ia bisa tinggal di sana untuk sementara, tapi mungkin putrinya malu, menunjukkan pada dunia bahwa ibunya terusir dan menumpang di tempatnya.
Perempuan itu lalu pergi di tengah hujan bersama anak bungsunya. Lalu menemukan sebuah rumah kos di bawah rumah panggung. Sekarang keadaannya sudah jauh lebih baik. Tapi perempuan itu masih belum menemukan rumahnya sendiri. Sebuah rumah yang banjir saat hujan dan panas bak bara di siang bolong adalah rezeki yang harus disyukurinya sekarang.

Spring bed ukuran single yang dibelikan adik laki-lakinya sekarang harus disangga sekitar 5-6 batu bata, karena banjir bisa datang ketika ia tidur karena kelelahan setelah mengais rezeki seharian. Ia tinggal sendiri. Sesekali 4 anaknya datang bergantian. Tapi sejatinya, ia sendiri.

Mulai saat ini, saya punya sebuah cita-cita. Bukan menjadi dokter seperti yang selalu saya katakan sejak kecil. Itu bukan cita-citaku. Itu yang saya dengar dikatakan anak-anak lain saat ditanya. Bukan polwan, bukan superman. Cita-citaku adalah sebuah rumah. Yang aman dari hujan, dari banjir dan panas. Rumah itu untuk mamaku.

Bukan!
cita-citaku bukan menjadi arsitektur. Saya terlalu bodoh dan terlalu tua untu memulainya sekarang. Saya rela menukar diriku dengan sebuah rumah sederhana. Supaya mamaku bisa pindah ke sana. Aman. Kalau bisa ditambah satu pembantu, untuk mencucikan bajunya atau memasakkan makan malamnya. Tapi siapa yang akan menikahi seorang perempuan hampir tiga puluh yang sama sekali tidak menarik sepertiku. Mungkin menarik. Tapi tidak sebanyak itu sehingga bisa membuat seseorang rela membuatkan sebuah rumah yang bebas banjir dan cukup sejuk.

Tuhan yang selalu baik. Saya sudah memutuskan cita-citaku. Sebuah rumah. Kalau mengharapkan seorang pria baik untuk memberikannya dalam bentuk sebuah mahar, terdengar musykil, maka berilah saya kemampuan untuk membelinya sendiri. Saya tau saya tidak punya banyak kemampuan. Saya pun putus asa. Tapi engkau maha besar. God is Great. Hanya kau yang selalu memungkin semua jalan untukku.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home