Thursday, April 17, 2008

Cerita BONTET

Menurutnya, orang rimba di pedalaman hutan Jambi, sukar sekali memanggilnya Butet. Makanya, lambat laun namanya berubah menjadi Bontet. Bahkan kadang ia dipanggil Bontet Nangoy karena ia tidak pernah menolak memakan hidangan daging babi yang mereka sebut nangoy.
Ada banyak oleh-oleh cerita yang dibawanya dari perjalanannya selama di Jambi. Dan kami duduk takzim -kadang ternganga- menunggu keajaiaban apa saja yang akan diceritakannya. Persis seperti orang pedalaman yang diceritakan tentang Mall atau Spa Salon.
Ia larut dalam berbagai kenangan dan kami hanyut bersamanya.
Kadang kami tersenyum atau tergelak mendengar ceritanya. Misalnya tentang becandaan saling kentut. Ia merasa aneh sebenarnya dengan jenis permainan itu. Karena di sana, buang angin tidak terkait nilai-nilai kesopanan. Menurut mereka itu manusiawi.
Coba bandingkan kalau kita berada di perjamuan makan alias gala dinner, kasta kita bisa turun sangat drastis hanya kerena kelepasan angin. Ah, kejamnya table manner.
Bagi Saur Marlina Manurung, Anak-anak Rimba adalah manusia kecil yang masih menghargai kebutuhannya akan pengetahuan. Mereka sangat kritis untuk bisa tetap berada di sekolah formal. Misalnya untuk upacara bendera. Jangan harap mereka akan hormat jika tidak ada alasan yang cukup masuk akal untuk itu. Mereka tidak menerimanya mentah-mentah. Bukankah penjelasan yang masuk akal adalah alasan kenapa sekolah itu ada? Salah seorang anak rimba pernah bercerita alasan kenapa ia berhenti bersekolah. Ia tidak habis pikir kenapa ia disepak ketika menolak melakukan sikap hormat bendera. Apakah tiang bendera itu dewa?? Kami tergelak, karena persepsinya. Selebihnya karena menetertawakan diri sendiri yang serta merta menerima ketika diminta hormat bendera.
Butet, seperti guru lainnya juga harus ekstra sabar menghadapi mereka. Ia mengajari mereka saat mandi dan bermain di sungai, saat duduk di bawah akar pohon atau ketika ia harus beristirahat di bedong. Tidak seperti di dalam kelas-kelas kita dulu. Kita harus mulai belajar pukul 7.30 walaupun masih mengantuk dan beristirahat pukul 10 lalu disambung lagi beberpa menit setelahnya, walaupun badan masih terasa nyut-nyutan terkena bola kasti, tapi harus berkonsentrasi karena pelajaran segera di mulai. Siap atau tidak.
Makanya mengajak mereka belajar mengenal angka dan huruf adalah perjuangan berat. Karena di hutan tidak ada kebutuhan akan literacy.
Makanya Butet memilih untuk bermain bersama mereka, dan "menyuapi" mereka ketika mereka meminta. Saya teringat kakek. Alangkah menyenangkan mendengar ceritanya di pinggir sungai dengan kaki terendam. Tentang tanda alam, atau kapan padi bernas penuh atau tidak. Karena saya tidak perlu memakai seragam sekolah dan duduk di bangku kayu yang keras.
Bukankah seharusnya guru adalah seorang pendongeng dengan cerita yang membuat kita tertarik. Menyajikan pengetahuan seperti sebuah misteri atau puzzle yang menyenangkan untuk dicari jawabannya. Karena dengan begitu sekolah menjadi menyenangkan dan perlu. Persis seperti kata Butet Manurung [Januari, 30, 2008]

[cerita menarik lain bisa didapatkan dalam buku, Sokola Rimba terbitan Insist]

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home