Thursday, March 19, 2009

Sepasang Sedih

Bulan lalu, satu sahabat terkena musibah. Pintu mobilnya ditabrak seorang ibu dengan kecepatan yang laju. Akibatnya, korban terpental dan tertimpa motornya sendiri. Terlepas dari siapa benar dan siapa yang salah, musibah ini menimpa mereka berdua. Ibu yang patah dan sahabatku yang harus menanggung biaya operasinya. Sepuluh juta tentu banyak.
Melihatnya terkulai setiap kali habis tergopoh mengurus biaya administrasi selalu membuatku merasa nelangsa. Tidak berdaya membantunya.

Bertahun tahun lalu, adikku didiagnosa demam berdarah. Seketika Ayahku duduk terpekur di lantai rumah sakit. Mungkin kelelahan karena habis menggotong adikku yang saat itu sudah berumur 14 tahun. Mungkin juga karena memikirkan di mana harus mendapatkan biaya pengobatan dan rawat inapnya.
Ibuku yang sejak tadi mendampinginya serta merta bersimpuh disampingnya, memeluk tengkuknya, dan membisikkan banyak hal padanya. Ayahku kadang mengangguk sambil terus menyanggah pelipisnya.

Alih alih mendekat, aku memilih bersembunyi di balik tiang rumah sakit bersama sejumlah kertas dan status adikku. Tidak mampu tersenyum, menangis atau bersikap biasabiasa. Hanya mengintip dengan tatap masygul melihat keduanya seperti sepasang daun layu yang terserak di antara lalu lalang orang. Dan aku tidak berdaya membantunya.

Monday, March 9, 2009

pulang

Seperti sniper yang menunggu waktu dan sasaran tembak.
Duaduanya harus tepat.
Rasanya kram dan kesemutan, ingin cepatcepat mengakhiri semuanya.