Wednesday, April 30, 2008

Saat TUHAN Tersenyum




Aku percaya kadang TUHAN tampil dalam berbagai bentuk. Rasa bahagia, rasa lega, tawa lepas atau senyum kanak-kanak yang menggemaskan. Menurut kak Aan, senyum paling sempurna, justru datang dari anak kecil dengan gigi yang tidak sempurna, bolong atau tanggal satu-dua. Meski dia bukan anak-anak dan
geliginya rapi berjajar, kurasa aku baru saja melihat Tuhan tersenyum dengan sempurna.

Welcome to my life!

TIM CERDAS

Tim pagi jakarta mungkin berisi orang-orang cerdas, makanya mereka selalu berusaha menyaring orang-orang dengan kemampuan terbatas seperti saya. Tidak ada kordinasi, penuh kecurigaan dan salah paham, dan berbagai pertanyaan yang bagi saya lebih seperti kuis sebelum masuk kuliah yang intinya cuma mau bilang, pinter ga sih lu?
Sebagai salah satu tim yang paling sering absen, mungkin ini konsekuensinya. Tapi kalau saya terdengar bodoh bukankah acaranya berarti agak jomplang karena setim dengan orang yang IQ-nya jongkok. Memangnya mereka tidak bisa merekrut orang yang lebih cerdas??
Tim ini terlalu cerdas buat saya. Lebih enak berada di siesta, selalu ada prosedur standar, ada kordinasi yang rapi [utamanya di jamannya DUDI] dan sharing tentang info yang akan diangkat sama-sama. Kesannya saya lebih dilibatkan dan dipercaya. Sama-sama membesarkan siesta, sekecil apapun kontribusi saya.
Apakah karena tim siesta tidak secerdas tim pagi atau kecerdasan memang selalu berwajah penjajah??

[Tuhan, maaf ya sepagi ini sudah menggerutu, padahal ada banyak bahagia lain yang patut disyukuri. Terima kasih untuk bangun paginya yang segar, tidur yang nyenyak, dan kasih sayang yang romantis dari tempat yang tidak pernah kuduga sebelumnya]

Monday, April 28, 2008

Rem Tangan Rhenald Kasali


Untuk persiapan seminar Rhenald Kasali di Makassar, malam ini penyiar akan melakukan wawancara by phone sebagai woro-woronya. Pertama saya harus berhubungan dengan Mbak Opi, The Assistant. Prosedur standar seperti mohon ijin by sms sebelum telepon, menunggu konfirmasi dan menelepon balik sudah saya lakukan. Setelah itu baru bisa dapat nomor Pak Rhenald. Saya harus menunggu Mba Opi mengabarinya dulu baru menelepon lagi. Daripada telpon berkali-kali ga diangkat, mending nunggu sebentar, biar langsung bisa nyambung.
Tapi begitu telepon, pada dering ketiga dia sudah mengangkatnya. It's himself. He speaks very softly. Saya jadi terharu, orang sebesar dia bisa sangat menghargai orang yang tidak ia kenal seperti saya. Perasaan saya langsung sejuk [apalagi kalau bisa ngobrol sama Muhammad saw yah..]. Orang baik, begitu pikir saya. Dalam wawancara singkat durasi 5 menit dia mengatakan banyak hal. Mulai dari rem tangan sampai orang di depan cermin.
Menurutnya, kadang orang-orang dibelakang kita sudah setengah mati berteriak supaya kita menambah kecepatan kendaraan, tapi betapapun kuat pedal gasnya diinjak, kecepatannya tidak bertambah sama sekali. Setelah diperiksa, ternyata kita begitu seriusnya menginjak gas sampai lupa melepaskan rem tangannya.
Artinya semua orang bisa berubah tapi tidak semua orang bisa menyadari bahwa ia masih melakukan satu hal yang menghambat usahanya. Untuk memotivasi diri, ia juga mengingatkan kita untuk sangat menghargai diri sendiri. Saya jadi langsung ingat salah satu lirik lagu Blink 182. They said “ we live alone instead”. Sedangkan Rhenald mengatakan, “hanya ada satu orang yang setia bersama anda dalam suka maupun duka, dia adalah orang yang berada di depan cermin.
Dosen UI ini juga mengaku bahwa ia adalah orang biasa yang berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki dirinya. “Saya adalah orang yang susah belajar, saya harus belajar sangat keras sementara orang lain kelihatannya santai saja”. Dia harus memaksa dirinya untuk membaca begitu banyak buku dan mengurangi waktu leha-lehanya dibanding orang lain. Setelah mendengarnya secara langsung berbicara malam ini, dan hampir tersedu karena haru dan bahagia menemukan sedikit arti hidup, saya tahu apa yang harus saya lakukan setelah ini. Hopefully, YOU would help me as always.
[foto di atas, diambil setelah seminar di Makassar]

Thursday, April 17, 2008

Cerita BONTET

Menurutnya, orang rimba di pedalaman hutan Jambi, sukar sekali memanggilnya Butet. Makanya, lambat laun namanya berubah menjadi Bontet. Bahkan kadang ia dipanggil Bontet Nangoy karena ia tidak pernah menolak memakan hidangan daging babi yang mereka sebut nangoy.
Ada banyak oleh-oleh cerita yang dibawanya dari perjalanannya selama di Jambi. Dan kami duduk takzim -kadang ternganga- menunggu keajaiaban apa saja yang akan diceritakannya. Persis seperti orang pedalaman yang diceritakan tentang Mall atau Spa Salon.
Ia larut dalam berbagai kenangan dan kami hanyut bersamanya.
Kadang kami tersenyum atau tergelak mendengar ceritanya. Misalnya tentang becandaan saling kentut. Ia merasa aneh sebenarnya dengan jenis permainan itu. Karena di sana, buang angin tidak terkait nilai-nilai kesopanan. Menurut mereka itu manusiawi.
Coba bandingkan kalau kita berada di perjamuan makan alias gala dinner, kasta kita bisa turun sangat drastis hanya kerena kelepasan angin. Ah, kejamnya table manner.
Bagi Saur Marlina Manurung, Anak-anak Rimba adalah manusia kecil yang masih menghargai kebutuhannya akan pengetahuan. Mereka sangat kritis untuk bisa tetap berada di sekolah formal. Misalnya untuk upacara bendera. Jangan harap mereka akan hormat jika tidak ada alasan yang cukup masuk akal untuk itu. Mereka tidak menerimanya mentah-mentah. Bukankah penjelasan yang masuk akal adalah alasan kenapa sekolah itu ada? Salah seorang anak rimba pernah bercerita alasan kenapa ia berhenti bersekolah. Ia tidak habis pikir kenapa ia disepak ketika menolak melakukan sikap hormat bendera. Apakah tiang bendera itu dewa?? Kami tergelak, karena persepsinya. Selebihnya karena menetertawakan diri sendiri yang serta merta menerima ketika diminta hormat bendera.
Butet, seperti guru lainnya juga harus ekstra sabar menghadapi mereka. Ia mengajari mereka saat mandi dan bermain di sungai, saat duduk di bawah akar pohon atau ketika ia harus beristirahat di bedong. Tidak seperti di dalam kelas-kelas kita dulu. Kita harus mulai belajar pukul 7.30 walaupun masih mengantuk dan beristirahat pukul 10 lalu disambung lagi beberpa menit setelahnya, walaupun badan masih terasa nyut-nyutan terkena bola kasti, tapi harus berkonsentrasi karena pelajaran segera di mulai. Siap atau tidak.
Makanya mengajak mereka belajar mengenal angka dan huruf adalah perjuangan berat. Karena di hutan tidak ada kebutuhan akan literacy.
Makanya Butet memilih untuk bermain bersama mereka, dan "menyuapi" mereka ketika mereka meminta. Saya teringat kakek. Alangkah menyenangkan mendengar ceritanya di pinggir sungai dengan kaki terendam. Tentang tanda alam, atau kapan padi bernas penuh atau tidak. Karena saya tidak perlu memakai seragam sekolah dan duduk di bangku kayu yang keras.
Bukankah seharusnya guru adalah seorang pendongeng dengan cerita yang membuat kita tertarik. Menyajikan pengetahuan seperti sebuah misteri atau puzzle yang menyenangkan untuk dicari jawabannya. Karena dengan begitu sekolah menjadi menyenangkan dan perlu. Persis seperti kata Butet Manurung [Januari, 30, 2008]

[cerita menarik lain bisa didapatkan dalam buku, Sokola Rimba terbitan Insist]

Wednesday, April 9, 2008

Tujuh Puluh Centi..


Ia lebih mempercayakan pekerjaan konveksi yang membutuhkan kejelian dan kecermatan seorang penjahit pada 12 tuna daksa. Cuma mendengar cerita orang lain, saya tidak akan percaya. Bukankah lebih aman mempekerjakan orang normal daripada mereka yang cacat dan memiliki keterbatasan.
Dibanding merekrut orang dengan tinggi badan 70 centimeter, atau yang kehilangan kakinya, tentu banyak yang lebih memilih orang dengan ”perkakas lengkap” Tapi tidak demikian dengan perempuan satu ini.
Saya bahkan sempat berpikir, oke, mungkin karena gajinya bisa dipangkas.
Tapi bukan itu yang disampaikan Ibu Hastuti Mulang. Menurutnya, tuna daksa lebih bisa menghargai kepercayaan yang diberikan dan sangat tekun menyelesaikannya. Orderan yang masuk juga selalu dikomunikasikan dengan para pekerja.
”Kalau mereka sanggup, saya terima..” begitu katanya.
Pertimbangannya sederhana, karena yang akan mengerjakan orderan itu adalah mereka juga. Apalagi jika ordernya masuk di last minute, maka harganya akan lebih tinggi dari biasanya. Pegawai CV Fajar Wulandari juga bisa menikmati upah yang lebih besar. Untuk menarik minat konsumen, mereka menetapkan harga di bawah rata-rata. Misalnya untuk yang ingin memesan pakaian kerja dengan sulaman nama perusahaan, konsumen bisa memesan dalam bentuk satuan. Jadi kalau ada yang membutuhkan jasa mereka, silahkan menghubungi ibu
Hastuti Mulang.

Bukan DEBU Jalanan




Kalau kita berzikir menyebut nama Allah sekali saja, maka Ia akan mengirimkan sepuluh kebaikan..


Itu kata Kumayl Mustafa Daood, vokalis Grup Musik Debu. Uniknya kata-kata ini ia sampaikan diantara botol minuman yang ditutup terpal, backdrop seram, dan panggung yang biasa menampilkan atraksi sexy dancer. Malam itu mereka memang tampil di Liquid Cafe And Lounge. Sebelumnya, Manager Debu, IbrahimConway, sempat ngomong, bahwa ia baru tahu tempat macam apa yang akan ia datangi. Jadi karena sudah terlanjur teken kontrak, mereka cuma minta supaya dalam ruangan tidak ada bir. Rencana awalnya malah akan ditampilkan di Redtro's bar yang kapasitasnya lebih besar dan panggungnya lebih luas, khususnya untuk Saleem yang senang beratraksi tari zapin saat manggung.

Pengunjung malam itu tidak begitu banyak. Malah banyak yang kaget karena langsung disambut dengan musik gambus dan puluhan penonton berjilbab. Mungkin mereka sempat berpikir, saya salah ruangan kali ya?? Karena dandanannya tidak memungkinkan untuk masuk [maklum, sexy bener] akhirnya mereka menunggu diruangan lain sampai pertunjukan selesai. Begitu DEBU meninggalkan tempat, paha-paha mulus langsung melenggang kangkung bersama pasangannya. Saya sempat memperhatikan seorang perempuan bohay yang menarik kerah baju pria paruh baya yang terus menganga memperhatikan belahan dadanya. Kurasa ia terkena parkinson karena jalannya seperti robot dan sesekali kakinya nyangkut di kaki kursi.

Debu malam itu tidak berhasil menyentuh mereka.