Thursday, April 8, 2010

Catatan Pesisir II

Day 72
(6 April 2010)

“kite runner’

Sebulan pas tidak menulis. Ada banyak hal menarik yang seharusnya bisa ditulis jika dicicil dengan baik. Tapi saya tidak sesetia dan setekun itu. Tidur dan makan selalu lebih menarik saat senggang. Atau luluran. Kurasa saya mulai terserang penyakit bosan yang akut. Baiklah saya akan mulai bercerita tentang obat bosan. Salah satunya adalah novel terlaris dunia, Kite Runner karangan khalid Hosseini. Oleh majalah Time, Hosseini dinobatkan sebagai 100 tokoh paling berpengaruh dunia 2008. Setiap cerita atau kejadian digambarkan dengan detail yang mengesankan. Misalnya ketika Amir (tokoh utama) ikut mengungsi ke Peshawar, ia mendengar orang bercakap-cakap dengan cepat saat berhenti di pos penjagaan. Kalimatnya menjadi seperti ini:

“Dua puluh menit kemudian, kami sampai di pos perbatasan Mahipar. Karim meninggalkan truk, menyapa suara-suara yang mendekat. Kaki-kaki menjejaki aspal. Kata-kata bertukar, dalam bisikan dan ketergesaan.” (page 158)

Ceritanya tentang ketakutan-ketakutan alami yang sering kita rasakan. Ketika kita seharusnya menolong seseorang tapi ternyata hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa. Ketika kita merasa harus harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan tapi alih-alih hanya mematung dan menghitung berapa lama lagi siksaan ini bisa berakhir. Mengharukan tapi terkadang juga menggelikan. Saya sampai menangis berkali-kali utamanya ketika penulis menggambarkan tokoh Baba menjelang kematiannya. Saya teringat bapak.

Dia merindukan bercakap-cakap denganku. Saya pun sudah cukup lama mencarinya. Belakangan saya tahu ibu bapaknya berpisah di ujung usia. Mungkin dia berpikir saat ini kami senasib dan boleh bertukar fikiran. Saya pun merindukanmu kawan. Kalau kau di sini saya yakin kita bisa bercerita sampai pagi seperti yang pernah kita lakukan di lapangan basket kampus. Ada pasir putih dan bentangan laut yang bisa menjadi beranda untuk kita bercerita sepanjang waktu. Di tunggu selalu.

Tiba-tiba merasa sendiri, terdampar entah di mana. Ingin tengkurap mendekap bumi, mempertemukan pipiku dengan pasir putih pantai, menyusupkan tanganku ke timbunan butirannya, dan membiarkan kakiku di selimuti buih ombak. Aku sedih. Merindukan entah siapa.

Catatan Pesisir

Day 1
(25 january 2010)

SURGA PANTAI

Inilah negeri para pemberani dan petarung laut. Tempat pemuda-pemuda liat menggerus kayu menjadi kapal Sandeq. Akhirnya saya menyaksikannya sendiri. Sebelumnya hanya membaca kisah pria bersarung dalam Maryamah Karpov, novel keempat dari tetralogi Andrea Hirata Seman. Mulai hari ini, saya tidak sekedar membaca. Saya akan memulai kisah saya sendiri dari ujung desa Pamboang.

Banyak cemas yang mengiringi saya ke tempat ini. Cemas memikirkan bagaimana cara membaur dengan para guru, keberhasilan program dampingan bahasa inggris, tanggapan head project, penerimaan guru dan banyak lagi cemas lainnya. Saya jadi ingat pesan Yusrianti Pontodjaf sebelum berangkat. “jangan diam, harus cerewet, karena tidak ada fasilitator yang pendiam”. Bukannya termotivasi, saya malah menjadi kian cemas.
Saya tiba pagi tadi bersama tim dari Yayasan Pengembangan Pendidikan dan Telematika Indonesia, Jakarta. Mereka saya jemput di bandara internasional Hasanuddin pagi sebelumnya. Head project-nya adalah Hikmat Hardono yang didampingi ibu Yundriati Erdani. Dua-duanya dari UGM dan dua-duanya berkacamata. Penampilan mereka ini adalah kecemasan berikutnya bagi saya.
Sepanjang jalan saya berusaha memancing pembicaraan dan menjadi agak comel. Tapi semakin lama, bahan pembicaraan saya mulai berkurang, sampai akhirnya habis. Begitu memasuki Polman, Saya diam membeku. Habis semua kata. Tidak tersisa. Saya langsung putar otak karena ini sudah melanggar pesan kak Yus. Tapi otakku yang bebal ini, semakin diputar semakin beku, dan semakin kaku juga lidah saya. Pikiran saya begitu sibuk berlatih untuk memulai lagi pembicaraan. Namun semakin banyak ide yang muncul, semakin terkatup bibir saya. Akhirnya saya hanya berbicara sendiri dalam pikiran. Tidak satupun berubah menjadi ucapan. Sesekali keluar juga, namun hanya berupa gumam tidak jelas. Telingaku sendiripun susah mendengarnya, apalagi mereka. Jadi soal ini, Maafkan saya kak Yus.

Setelah melalui perjalanan yang kaku dan melelahkan otak, saya tiba di SMK 3 Pamboang. Sebuah sekolah kejuruan laut yang berada di ketinggian tepi tebing. Sungguh-sungguh di tepi. Jauh dibawahnya, terhampar laut biru tua dengan bis biru pucat dan krem. Yang berwarna krem itu tak lain tak bukan, liukan pantai Pamboang yang berkelok dengan dramatis. Hmm surga pantai yang difilmkan “The Beach” tak ada apa-apanya dibanding pantai Pamboang. Pantai yang syahdu dan aktifitas pembuat perahu mandar adalah kombinasi indah tak terkira. Hemat pikirku, harusnya bisa mendatangkan wisatawan asing.

Saya anggap saja ini hadiah manis dari tuhan. Pengganti pesangon yang hanya tinggal mimpi. Tapi berada di sini bukan mimpi. Saya harus mempersiapkan diri semaksimal mungkin untuk menghadapi segala kemungkinan, seperti saya bisa menghadapi keindahan Majene dengan lapang dada (nassami!)

After all, here i come, Majene!