Catatan Pesisir 4
Pamboang, Day 77 (11 April 2010)
Arti sekolah untuk mereka
Saat sekolah saya ingat betul, rasa jenuh bukan kepalang dengan sekolah. Saya selalu berpikir kapan sekolah akan berakhir. Betapa melelahkan setiap hari bergelut dengan sabun cuci dan 3 seragam sekolah. Mencucinya supaya besok bisa dipakai lagi.
Dan mandi pagi, oh Tuhan. Rasanya seperti siksaan tiada akhir. Sekolah yang dituju juga tidak menjanjikan hal menyenangkan, seperti ketakjuban akan pengetahuan baru. Menjemukan.
Sekolah itu sendiri saja sudah sangat menyebalkan. Apalagi kalau guru-gurunya masuk ke kelas tanpa ekspresi. Sepertinya sebelum berbicara, jauh sebelum mereka melangkah masuk ke kelas, dalam hati mereka bergumam, oh tuhan, kenapa saya harus berhadapan dengan anak-anak bodoh ini lagi. Dan kami memulai pelajaran dengan doa, semoga hari ini cepat selesai. Lonceng sekolah selalu menjadi yang paling dirindukan.
Hal yang paling saya hindari adalah menjadi guru. Tapi saat ini saya berada sedikit mirip dengan posisi guru. Pendamping guru. Bukan guru pendamping. Setiap ada waktu saya mencoba mendekati mereka secara persuasif. Apa harapan mereka dari sekolah? Muridnya hanya 20 orang. Itupun kadang beberapa diantara mereka lebih senang dihukum, lalu selama 7 hari berikutnya, menghilang. Oh God. Mereka lebih nyata membenci sekolah daripada aku.
Saya mencoba tidak memberikan hukuman. Tapi akibatnya tugas2 banyak yang tidak diselesaikan. Besok saya akan meminta mereka memperlihatkan kartu ingatnya. Yang membawa akan mendapat hadiah. Mungkin seperti wafelatos atau yang mirip itulah.
Saya tidak boleh menyerah. Setidaknya bukan sekarang.
Sepertinya saya kurang tegas. Mungkin salah metode. Mungkin siswa ini lebih senang dikerasi. Harusy saya bisa menduga itu waktu pertama saya tanyakan. Hukuman apa yang mereka inginkan. Jawabannya, dijemur, kengkreng, push up, di tendang. Waduhhh....
Masalahnya saya tidak mendapat sambutan baik dari guru bahasa inggrisnya. Jangankan membicarakan pengembangan pendidikan, membicarakan program saya saja dia enggan. Tepatnya begini, saya mengajaknya berbicara, dan dia tidak menoleh. Not even a glance.